Ledakan pada reaktor nuklir di Fukushima telah terjadi tiga kali  sejak gempa dengan kekuatan 9 mengguncang Jepang, Jumat (11/3/2011)  lalu. Ledakan pertama terjadi di reaktor nomor 1 hari Sabtu lalu,  disusul ledakan di reaktor nomor tiga Senin, dan ledakan terakhir  terjadi  di reaktor nomor 2, Selasa. Banyak pihak mengkhawatirkan  terjadinya radiasi nuklir yang besar sebagai konsekuensi dari ledakan  itu.
Namun, bagaimana sebenarnya ledakan bisa terjadi? Lalu,  benarkah ledakan akan memacu bencana nuklir besar seperti yang  dikhawatirkan? Untuk itu, perlu melihat beberapa hal penting terkait  dengan proses ledakan reaktor, meliputi jenis reaktor, bagaimana reaktor  bekerja, dan faktor yang memicu ledakan.
Staf pengajar Jurusan  Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada yang kini turut dalam pengkajian  keselamatan teknologi nuklir di Swedia, Dr Alexander Agung ST, M.Sc,  mengungkapkan analisis sementara terkait ledakan reaktor Fukushima 1 di  situs 
web resmi Teknik Fisika UGM.
Ia mengungkapkan bahwa Fukushima I Unit 1 merupakan PLTN berjenis BWR (
boiling water reactor).  Daya listrik yang mampu dihasilkan adalah 460 MW, dengan daya termal  1553 MW dan asumsi efisiensi termal 30 persen. Reaktor tersebut dibangun  akhir tahun 1960-an dan beroperasi awal 1970-an.
Ia mengatakan,  "Pada reaktor nuklir, energi dihasilkan dari reaksi fisi atau pembelahan  inti atom." Reaksi fisi juga menghasilkan energi radioaktf yang akan  meluruh. Jumlah energi yang dihasilkan dari suatu reaksi fisi adalah  total dari energi fisi dan energi peluruhan radioaktif.
Besar  kecilnya energi yang dihasilkan dalam reaksi fisi tergantung dari banyak  sedikitnya proses fisi. Reaksi fisi bisa dikendalikan dengan batang  kendali atau 
control rods. Jika seluruh batang kendali dimasukkan, maka reaktor akan padam, dikenal dengan istilah 
shut down.Pengamanan reaktor nuklir mengenal jargon 3C, yakni 
Control, Cool dan 
Contain. 
Control terkait upaya mencegah peningkatan tajam energi, 
Cool terkait dengan upaya mendinginkan bahan bakar, dan 
Contain berkaitan dengan upaya menjaga bahan radioaktif agar tetap dalam reaktor.
"Perlu  diingat bahwa ketiganya bisa berfungsi sebagai aspek pertahanan,"  katanya. Kalau kontrol tak berfungsi, maka masih ada sistem pendingin.  Kemudian, jika sistem pendingin tak juga berfungsi, maka masih terdapat  pengungkung reaktor yang akan mencegah lepasnya materail radioaktif.
Nah,  ledakan di reaktor Fukushima 1 berhubungan dengan kegagalan pada sistem  proteksi dan faktor yang berkaitan dengannya. Ketika gempa terjadi,  sistem kontrol sebenarnya berhasil berfungsi dengan memadamkan reaktor  sehingga reaksi fisi di dalam reaktor tak terjadi lagi.
"Akan  tetapi, masih ada energi dari peluruhan radioaktif. Pada saat reaktor  padam, masih ada 7 persen dari 1.553 MW, atau sebesar 107 MW,"  ungkapnya. Dalam kondisi tersebut, sistem pendingin seharusnya bekerja  untuk mengalirkan air saat awal sistem tersebut berfungsi.
Sayangnya,  sistem pendingin akhirnya ngadat setelah satu jam sebab generator  listrik mati akibat tsunami. "Situasi tersebut dikenal dengan istilah  LOFA (
loss of flow accident), yakni pendingin tetap ada, namun tidak mengalir," papar Alex. Akibatnya panas tak bisa ditransfer.
Menurut  Alex, ada dua fenomena yang bisa terjadi. Pertama, naiknya suhu  pendingin memicu pendidihan sehingga bagian atas reaktor tertutup uap  air. "Jika ini terjadi, kemungkinan pelelehan bahan bakar besar. Jika  bahan bakar meleleh, bahan radioaktif akan terlepas ke sistem  pendingin," jelas Alex.
Kemungkinan kedua adalah kenaikan suhu  selongsong bahan bakar. Selongsong merupakan pembungkus bahan bakar yang  terbuat dari logam campuran Zirkonium. Jika suhu meningkat hingga 900  derajat celsius, maka zirkonium akan teroksidasi oleh air sehingga  menghasilkan hidrogen.
Alexander mengungkapkan, hingga saat ini  belum jelas fenomena apakah yang terjadi. Namun, ia menduga bahwa  hidrogen yang terakumulasi bereaksi dengan oksigen sehingga terjadi  ledakan hidrogen. Hal tersebut menyebabkan ledakan di Fukushima 1 Unit  1. Kekuatan ledakan cukup kuat untuk meruntuhkan bangunan di sekitarnya,  namun tidak sampai merusak selongsong pelindung reaktor.
Faktanya,  ledakan terjadi di reaktor-reaktor tersebut setelah  TEPCO (Tokyo Power  Electric Company) mengalirkan air laut untuk  mendinginkan reaktor  secara langsung. Terjadinya ledakan juga disebut bagian dari proses  pendinginan reaktor yang tidak membahayakan reaktor tersebut.
Radiasi  dilaporkan telah mencapai Tokyo, tapi tidak membahayakan kesehatan  manusia. Pejabat pemerintah Metropolitan Tokyo mengungkapkan, "Kami  memantau tingkat radiasi yang melampaui batas normal terjadi pagi ini di  Tokyo. Namun, kami tidak menilai bahwa hal itu sudah berada dalam level  yang berbahaya bagi tubuh manusia."
Permbangkit listrik tenaga  nuklir itu berada 250 kilometer timur laut Tokyo. Kantor Berita Kyodo  juga melaporkan bahwa tingkat radiasi di kota Maebashi, 100 kilometer  utara Tokyo, naik 10 kali lipat di atas batas normal.